Tanggal 14 Februari diperingati
sebagai hari Valentin Day bagi yang merayakan sedangkan bertepatan tanggal 5
Februari 2012 Indonesia libur bersama karena memperingati Maulid Nabi. Bagi
kebanyakan orang, dua hal ini merupakan sesuatu yang sama-sama menyenangkan.
Sebuah seremonial yang membahagiakan. Bahkan bisa diartikan sebagai bentuk
ibadah bagi yang meyakini.
Valentin Day yang awalnya berasal
dari budaya masyarakat romawi kuno. berawal sebuah ritual memuja dewa Valentine
(dewa kesuburan) dengan cara mencari pasangan muda-mudi secara bebas yang
dipandu oleh pastur. kemudian mereka bisa melakukan apa saja sesuka hatinya.
Termasuk free sex, sehingga tidak ada bedanya manusia dengan binatang.
Namun anehnya budaya yang tidak terpuji itu masih banyak yang menganut sampai
sekarang. Bahkan budaya itu masuk ke rumah-rumah kita. Kalau ini terus
berlangsung tunggu saja kerusakan moral bangsa ini. Coba lihat Malaysia yang
benar-benar save terhadap akhlaq dan moral masyarakatnya, sehingga pemerintah melarang rakyatnya
memperingati VD.
Bagai mana dengan Negara kita yang besar ini?
Hukum
Merayakan Valentine
Saat ini
mulai banyak Muslim Indonesia (terutama remaja dan pemudanya) yang merayakan
Hari “Kasih Sayang” Saint Valentine (Valentine’s Day). Dengan pacarnya mereka
berpegangan mesra bahkan lebih dari itu. Di Barat sendiri, kaum remaja dan
pemuda kafir (misalnya SMA atau Perguruan Tinggi) biasa mengadakan Pesta
Perayaan Hari St Valentine. Biasanya mereka berpasangan pria dan wanita. Kadang
ada kamar khusus untuk berzina. Bisa juga mereka melakukan perzinaan usai pesta
Valentine tersebut.
Dari situ
kita tahu bahwa Hari St Valentine itu lebih kepada hawa nafsu atau maksiat
perzinahan. Bukan kasih sayang! Itu satu budaya kafir yang buruk yang tidak
pantas ditiru!
Islam mengajarkan kita untuk menjalin
Silaturrahim. Tali Kasih Sayang. Membantu sesama seperti menolong fakir miskin
dan menyantuni anak yatim. Dan itu dilakukan setiap hari mulai dari mengucapkan
salam kepada sesama saat bertemu dan menebar senyum. Tak terbatas kepada wanita
pasangannya. Dalam Islam kita dilarang mendekati perbuatan zina.
Sementara
Hari Raya Saint Valentine itu cuma setahun sekali. Itu pun umumnya ke
pacarnya/pasangannya yang mengarah pada perbuatan mesum/zina. Jika sudah hamil,
“kekasih” bisa tak bertanggung-jawab. Bisa menggugur-kan/membunuh
kandungan. Ada juga gadis yang bunuh diri karena tak dinikahi padahal terlanjur
hamil. Ada pula yg membunuh pacarnya karena tak mau menikahi saat didesak.
Dalam Islam
ada ajaran Silaturrahim/menjalin tali kasih sayang yang tulus. Namun dilarang
mendekati zina sehingga kasih itu benar2 tulus. Bukan nafsu…Jadi beda dengan
ajaran Islam.
Seorang teman
berkata: Daripada Palentinan mendingan Pengantenan (Menikah)!
Dari
Hidayatullah.com:
Kalangan
ulama Aceh menyatakan “haram” merayakan Hari Valentine, khususnya untuk
masyarakat muslim di provinsi itu.
“Haram
bagi kaum muslimin merayakan valentine day karena Islam mengaktualisasikan hari
kasih sayang tidak hanya sekali dalam setahun, tapi setiap detik dan waktu
sepanjang kehidupan,” kata Tgk Faisal Ali di Banda Aceh, Kamis (10/2).
Hal senada
disampaikan Ketua Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Kota Dumai, Riau, Roza`i Akbar. Ia menegaskan, perayaan Hari
Valentine (Valentine`s Day) pada 14 Februari adalah haram bagi umat Islam.
“Hari
Valentine adalah sebuah hari kasih sayang bagi warga di dunia Barat di luar
agama Islam. Dilihat dari asal muasalnya, diketahui bahwa Valentine merupakan
hari raya bagi kaum non-Islam di Roma, Italia. Untuk itu, Valentine haram bagi
mereka yang beragama Islam,” tegasnya.
Dari
Wikipedia (http://en.wikipedia.org/wiki/Saint_Valentine ), Saint Valentine
sendiri tidak jelas asal-usulnya. Ada 3 oknum yang diduga merupakan Saint
Valentine yang “Asli”:
*
Seorang Pendeta di Roma
*
Seorang Uskup di Interamna (modern Terni), atau
*
Seorang “Syuhada di Propinsi Roma di Afrika
Tanggal
perayaannya pun sebelumnya berbeda-beda. Ada yang tanggal 6 Juli, 30 Juli, dan
terakhir 14 Februari!
Sejarah
Valentine pun tidak jelas. Paling tidak ada beberapa versi. Pertama berdasarkan
Nuremberg Chronicle (1493) menyatakan seorang Pendeta Roma mati “Syahid” saat
pemerintahan Claudius II (Claudius Gothicus). Dia dihukum mati karena
menikahkan pasangan Kristen. Tahun kematiannya pun tak jelas. Ada yang
menyatakan tahun 269, 279, dan 273 masehi.
Ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslm :
Dari Abu Sa‘id Al Khudri, ia berkata: “Rasululah
bersabda: ‘Sungguh kalian akan mengikuti jejak umat-umat sebelum kalian,
sejengkal demi sejengkal, sehingga kalau mereka masuk ke dalam lubang biawak,
niscaya kalianpun akan masuk ke dalamnya.’ Mereka (para sahabat) bertanya:
‘Wahai Rasulullah, apakah kaum Yahudi dan Narsani?’ Sabda beliau: “Siapa lagi,”
Memuliakan Hari Kelahiran Nabi Muhammad
SAW Ketika memasuki bulan Rabiul Awal, umat Islam merayakan hari kelahiran Nabi
SAW dengan berbagai cara, baik dengan cara yang sederhana maupun dengan cara
yang cukup meriah. Pembacaan shalawat, barzanji dan pengajian pengajian yang
mengisahkan sejarah Nabi SAW menghiasi hari-hari bulan itu.
Sekitar lima abad yang lalu, pertanyaan
seperti itu juga muncul. Dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi (849 H - 911 H)
menjawab bahwa perayaan Maulid Nabi SAW boleh dilakukan. Sebagaimana dituturkan
dalam Al-Hawil Fatawi.
"Ada sebuah
pertanyaan tentang perayaan Maulid Nabi SAW pada bulan Rabiul Awwal, bagaimana
hukumnya menurut syara'. Apakah terpuji ataukah tercela? Dan apakah orang yang
melakukannya diberi pahala ataukah tidak? Beliau menjawab: Menurut saya bahwa
asal perayaan Maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca Al-Qur’an dan
kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan kehidupannya.
Kemudian menghidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka
pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bid’ah
al-hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat
Nabi SAW, menampakkan suka duka dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad
SAW yang mulia". (Al-Hawi lil Fatawi, juz I, hal 251-252)
Jadi, sebetulnya hakikat perayaan
Maulid Nabi SAW itu merupakan bentuk pengungkapan rasa senang dan syukur atas
terutusnya Nabi Muhammad SAW ke dunia ini. Yang diwujudkan dengan cara
mengumpulkan orang banyak. Lalu diisi dengan pengajian keimanan dan keislaman,
mengkaji sejarah dan akhlaq Nabi SAW untuk diteladani. Pengungkapan rasa
gembira itu memang dianjurkan bagi setiap orang yang mendapatkan anugerah dari
Tuhan. Sebagaimana firman Allah SWT :
قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَالِكَ
فَلْيَفْرَحُوا
“Katakanlah (Muhammad), sebab fadhal
dan rahmat Allah (kepada kalian), maka bergembiralah kalian.” (QS. Yunus : 58)
Ayat ini, jelas-jelas menyuruh kita
umat Islam untuk bergembira dengan adanya rahmat Allah SWT. Sementara Nabi
Muhammad SAW adalah rahmat atau anugerah Tuhan kepada manusia yang
tiadataranya. Sebagaimana firman Allah SWT:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إلَّا رَحْمَةً
لِلْعَالَمِيْنَ
“Dan Kami tidak
mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. al-Anbiya':107)
Sesunggunya, perayaan maulid itu sudah
ada dan telah lama dilakukan oleh umat Islam. Benihnya sudah ditanam sendiri
oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits diriwayatkan:
عَنْ أبِي قَتَادَةَ الأنْصَارِي
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ
عَنْ صَوْمِ اْلإثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ – صحيح مسلم-
“Diriwayatkan dari Abu Qatadah
al-Anshari RA bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa Senin. Maka
beliau menjawab, "Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan
kepadaku” . (HR. Muslim)
Betapa Rasulullah SAW begitu memuliakan
hari kelahirannya. Beliau bersyukur kepada Allah SWT pada hari tersebut atas karunia Tuhan
yang telah menyebabkan keberadaannya.Rasa syukur itu beliau ungkapkan dengan
bentuk puasa.
Paparan ini menyiratkan bahwa merayakan
kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW termasuk sesuatu yang boleh dilakukan.
Apalagi perayaan maulid itu isinya adalah bacaan shalawat, baik Barzanji atau
Diba', sedekah dengan beraneka makanan, pengajian agama dan sebagainya, yang
merupakan amalan-amalan yang memang dianjurkan oleh Syari' at Islam. Sayyid
Muhammad' Alawial-Maliki, mengatakan:
"Pada pokoknya, berkumpul untuk
mengadakan Maulid Nabi merupakan sesuatu yang sudah lumrah terjadi. Tapi hal
itu termasuk kebiasaan yang baik yang mengandung banyak kegunaan dan manfaat
yang (akhirnya) kembali kepada umat sendiri dengan beberapa keutamaan (di
dalamnya). Sebab, kebiasaan seperti itu memang dianjurkan oleh syara' secara
parsial (bagian bagiannya)”
“Sesungguhnya perkumpulan ini merupakan
sarana yang baik untuk berdakwah. Sekaligus merupakan kesempatan emas yang
seharusnya tidak boleh punah. Bahkan menjadi kewajiban para da'i dan ulama
untuk mengingatkan umat kepada akhlaq, sopan santun, keadaan sehari-hari,
sejarah, tata cara bergaul dan ibadah Nabi Muhammad SAW. Dan hendaknya mereka
menasehati dan memberikan petunjuk untuk selalu melakukan kebaikan dan keberuntungan.
Dan memperingatkan umat akan datangnya bala' (ujian), bid'ah, kejahatan dan
berbagai fitnah". (Mafahim Yajib an Tushahhah, 224-226)
Hal ini diakui oleh Ibn Taimiyyah. Ibn
Taimiyyah berkata, "Orang-orang yang melaksanakan perayaan Maulid Nabi SAW
akan diberi pahala. Begitulah yang dilakukan oleh sebagian orang. Hal mana juga
di temukan di kalangan Nasrani yang memperingati kelahiran Isa AS. Dalam Islam
juga dilakukan oleh kaum muslimin sebagai rasa cinta dan penghormatan kepada
Nabi SAW. Dan Allah SWT akan memberi pahala kepada mereka atas kecintaan mereka
kepada Nabi mereka, bukan dosa atas bid'ah yang mereka lakukan". (Manhaj
as-Salaf li Fahmin Nushush Bainan Nazhariyyah wat Tathbiq, 399)
Maka
sudah sewajarnya kalau umat Islam merayakan Maulid Nabi SAW sebagai salah satu
bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan juga karena isi perbuatan
tersebut secara satu persatu, yakni membaca shalawat, mengkaji sejarah Nabi
SAW, sedekah, dan lain sebagainya merupakan amalan yang memang dianjurkan dalam
syari'at Islam.
Perayaan Maulid Nabi dan Kontroversi
Ma'na Bid’ah Peryataan bahwa perayaan maulid Nabi adalah amalan bid'ah adalah
peryataan sangat tidak tepat, karena bid'ah adalah sesuatu yang baru atau
diada-adakan dalam Islam yang tidak ada landasan sama sekali dari Al-Qur'an dan
as-Sunah. Adapun maulid walaupun suatu yang baru di dalam Islam akan
tetapi memiliki landasan dariAl-Qur'andanas-Sunah.
PengkhususanWaktu
Ada yang menyatakan bahwa menjadikan
maulid dikatakan bid'ah adalah adanya pengkhususan (takhsis) dalam
pelakanaan di dalam waktu tertentu, yaitu bulan Rabiul Awal yang hal itu tidak
dikhususkan oleh syariat. Pernyataan ini sebenarnaya perlu di tinjau kembali,
karena takhsis yang dilarang di dalam Islam ialah takhsis dengan
cara meyakini atau menetapkan hukum suatu amal bahwa amal tersebut tidak boleh
diamalkan kecuali hari-hari khusus dan pengkhususan tersebut tidak ada landasan
dari syar'i sendiri (Dr Alawy bin Shihab, Intabih Dinuka fi Khotir:
hal.27).
Hal ini berbeda dengan penempatan waktu
perayaan maulid Nabi pada bulan Rabiul Awal, karena orang yang melaksanakan
maulid Nabi sama sekali tidak meyakini, apalagi menetapkan hukum bahwa maulid
Nabi tidak boleh dilakukan kecuali bulan Robiul Awal, maulid Nabi bisa diadakan
kapan saja, dengan bentuk acara yang berbeda selama ada nilai ketaatan dan
tidak bercampur dengan maksiat.
Pengkhususan waktu
maulid disini bukan kategori takhsis yang di larang syar'i tersebut, akan
tetapi masuk kategori tartib (penertiban).
Pengkhususan waktu tertentu dalam
beramal sholihah adalah diperbolehkan, Nabi Muhammad sendiri mengkhusukan hari
tertentu untuk beribadah dan berziaroh ke masjid kuba, seperti diriwatkan Ibnu
Umar bahwa Nabi Muhammad mendatangi masjid Kuba setiap hari Sabtu dengan jalan
kaki atau dengan kendaraan dan sholat sholat dua rekaat di sana (HR Bukhari dan
Muslim). Ibnu Hajar mengomentari hadis ini mengatakan: "Bahwa hadis ini
disertai banyaknya riwayatnya menunjukan diperbolehkan mengkhususan sebagian
hari-hari tertentu dengan amal-amal salihah dan dilakukan terus-menerus". (FathulBari3:hal.
84)
Imam Nawawi juga berkata senada di
dalam kitab Syarah Sahih Muslim. Para sahabat Anshor juga menghususkan
waktu tertentu untuk berkumpul untuk bersama-sama mengingat nikmat Allah, (yaitu
datangnya Nabi SAW) pada hari Jumat atau mereka menyebutnya Yaumul 'Urubah dan
direstui Nabi.
Jadi dapat difahami, bahwa pengkhususan
dalam jadwal Maulid, Isro' Mi'roj dan yang lainya hanyalah untuk penertiban
acara-acara dengan memanfaatkan momen yang sesuai, tanpa ada keyakinan apapun,
hal ini seperti halnya penertiban atau pengkhususan waktu sekolah, penghususan
kelas dan tingkatan sekolah yang kesemuanya tidak pernah dikhususkan oleh
syariat, tapi hal ini diperbolehkan untuk ketertiban, dan umumnya tabiat manusia
apabila kegiatan tidak terjadwal maka kegiatan tersebut akan mudah diremehkan
dan akhirnya dilupakan atau ditinggalkan.
Imam Suyuti menjawab peryataan orang
yang mengatakan: "Saya tidak tahu bahwa maulid ada asalnya di Kitab dan
Sunah" dengan jawaban: "Tidak mengetahui dalil bukan berarti dalil
itu tidak ada", peryataannya Imam Suyutiy ini didasarkan karena beliau
sendiri dan Ibnu Hajar al-Asqolaniy telah mampu mengeluarkan dalil-dalil maulid
dari as-Sunah. (Syekh Ali Jum'ah. Al-Bayanul Qowim, hal.28)*
Zarnuzi
Ghufron (Ketua LMI-PCINU Yaman dan sekarang sedang
belajar di Fakultas Syariah wal Qonun Univ Al-Ahgoff, Hadramaut, Yaman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar