By. Khairunnisa Syahidah |
“Lihat wanita itu bang ??” sahabatku menunjuk seorang
wanita berjilbab, sekilas ku lihat memang wanita anggun.
“Aku mencintainya bang,tapi setiap kali aku
mendekatinya,dia menjauhiku. Entah apa maksudnya. Dia tidak pernah membalas SMS
ku bahkan aku pernah nekat mengiriminya surat, namun nasibnya sama. Tak
berbalas” sahabatku yang bernama Tio pun tertunduk.
“Kau sudah pernah melamarnya ??” aku bertanya.
“Boro-boro bang, aku ini masih kuliah. Abang juga kan
masih kuliah, dia juga kuliah. Mau di kasih makan apa, batu??” aku melihatnya
tertawa. Aku tersenyum melihatnya.
“Kalo aku jadi kamu, udah aku lamar enggak pake lama
deh” aku menatapnya.
“Kalo abang udah mikir mau ngasih makan batu, silahkan
aja” dia pun melanjutkan tawanya. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Tak lama setelah perbincangan itu aku mengetahui
namanya. Lathifah. Nama yang bagus,itu pun aku ketahui dari Tio yang keceplosan
menyebut namanya. Aku hanya sekilas melihatnya lagi. Setelah itu hanya
mengetahui Lathifah dari Tio.
Lama aku mengenal Lathifah dari Tio, begitu seringnya
Tio menceritakan Lathifah padaku. Aku hanya sebagai pendengar setia
setiap curhatan nya.
“Gimana Yo, lama aku tak mendengarmu menyebut namanya,
katanya cinta” kataku memulai pembicaraan yang telah lama tidak ku ketahui
kabarnya.
“Enggak tahu deh bang, capek aku mikirin dia. Enggak
ada kepastian“ timpalnya.
“Dia itu seorang muslimah Yo,aku yakin dia enggak
pernah kepikiran pacaran apalagi mau pacaran. Kepastian dia Cuma lamaran Yo, kalo
kamu berani melamarnya. Aku yakin kamu akan mendapatkan kepastian. Kalo kamu
masih enggak mau juga, buat aku saja yaa “ aku terkekeh melihat raut wajahnya
yang langsung berubah jadi cemberut.
“Aahh..sudahlah bang, kalo jodoh juga dia enggak akan
lari”
“Kata siapa enggak bakalan lari ?? Yang namanya jodoh
itu harus di kukuhkan dengan pernikahan, kalo enggak yaa sampai kapanpun
jodoh akan lari. Dari mana kamu tahu kalo dia jodohmu kalo kamu enggak mau
nyoba buat mengukuhkannya dengan pernikahan”
“Cerewet amat si bang, si Amat aja enggak cerewet
kayak abang “ aku tertawa mendengar ejekannya.
Ada suara ketukan di pintu kamar ku. Aku bergegas
berdiri dari depan meja tempatku berjuang menyelesaikan tugas-tugasku.
“Kenapa kamu Yo ??” aku mengerenyitkan dahi,melihat
muka Bima lesu. Seperti habis memikul sesuatu yang berat.
“Lathifah akan menikah bulan depan bang,aku di beri
tahu sahabatnya” Tio melangkahkan kakinya menuju tempat tidurku, lalu telentang
dan menutup kepalanya dengan bantal.
Aku membuka bantalnya, melihat Tio menangis. Tak ada
salahnya seorang laki-laki menangis, toh dia juga manusia biasa yang mempunya
fitrah dengan sebuah perasaan yang membebaninya.
“Terus kenapa kamu menangis”
“Aku kecewa bang, lama sudah aku ngejar-ngejar dia.
Masa ada cowok baru dateng minggu kemaren ke rumahnya, udah dia terima aja jadi
calon suaminya “ Dia kembali menangis.
“Emang calon suaminya salah ya kalo mau ngelamar
Lathifah ??”
“Ya enggak Bang, Cuma aku duluan yang suka sama Lathifah,
dia kan datangnya belakangan” aku
tersenyum mendengarkan pembelaannya.
“Hey sob, Siapa yang suka duluan atau yang suka
belakangan itu enggak di perhitungkan sob. Kalo siapa yang duluan ngelamar, itu
baru perlu di pertimbangkan. Kamu Ini dari dulu di suruh ngelamar, enggak
berani, sekarang udah di lamar orang lain, kamu malah nangis-nangis. Emangnya
dia di suruh nugguin ketidak pastianmu apa” Kataku panjang lebar.
“Bukan Cuma itu bang, dia ternyata juga suka sama aku.
Itu kata sahabatnya si Lathif, Cuma aku nya ngajak pacaran mulu, makanya dia
enggak mau nerima aku. Aku baru tahu kalo dia sedang nunggu aku, Cuma karna dia
seorang muslimah dia benar-benar menjaga kehormatannya… aaahhhh…aku nyesel
bang” dia kembali menutupkan wajahnya pada bantal.
“Nyesel selalu datang terlambat ya, kalo datangnya
duluan namanya bukan penyesalan atuh, tapi perencanaan buat nyesel nantinya”
Aku mencoba mencairkan suasana. Tapi tetap saja tangisnya belum mereda.
“Makanya, kalo cinta jangan Cuma di katakan, tapi di khitbah
biar bisa jadi istri. Kalo udah di ambil orang,baru kerasa efeknya”.
Lemparan bantal ke arahku menandakan dia sedang kecewa
berat. Namun pelajaran berarti saat ini untuk menuju sebuah kedewasaannya dalam
berfikir. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar