Haruskah Kita Bercerai
S
|
|
Kuingat kembali
pertengkaran-pertengkaran kami sebelumnya... Kita memang sudah nggak cocok!
Kupikirkan
kesalahan-kesalahan apa yang telah aku lakukan namun lebih sering mengingat
kesalahankesalaha suamiku.
Aku menangis
sejadi-jadinya hingga dadaku sesak dan airmataku kering. Hari itu menjadi hari
paling menyedihkan dalam hidupku. Tak kulihat suamiku di sampingku keesokan
paginya. Entah kemana ia. Tanpa sadar aku, layaknya aktris berakting di
sinetron-sinetron, memandangi foto-foto kami dulu dengan berlinang airmata.
Ngiris hati ini.
Andai saja ada lagu
‘Goodbye’ dari Air Supply yang mengiringiku, tentu semuanya menjadi scene yang
sempurna.
Sekilas kenangan lama
bermunculan di benakku. Aku teringat pertama kali aku bertemu suamiku, teringat
apa yang aku rasakan saat ia melamarku. Aku tersenyum kecil hingga akhirnya
tertawa saat mengingat malam pertamaku. Ha ha ha.
Anak-anakku datang saat
melihat ibu mereka ini tertawa, memelukku tanpa tahu apa yang sedang terjadi.
Mereka masih kecil-kecil. Kupandangi mereka satu per satu.... Mereka mirip
ayahnya. Aku jadi teringat saat pertama kali kukatakan padanya bahwa ia akan
menjadi ayah. Hhmmm...
Ku lalui hari-hari penuh
kekhawatiran bersamanya, menunggu kelahiran buah cinta kami. Dengan penuh kasih
sayang, suamiku memegang tanganku, mencoba menenangkanku saat sang khalifah
baru lahir, walaupun kutahu ia hampir saja pingsan. Keningku diciumnya saat
semuanya berakhir walaupun wajahku penuh keringat saat itu. Saat kubuka mataku,
di sampingku ia duduk menggendong bayi mungil itu. Bersamanya, kubeli tiket ke
surga...
"Mi, abi mana?"
suara anakku mengejutkan lamunanku. Tak sanggup aku menjawabnya. Hampir saja
aku menangis lagi.
Tiba-tiba kulihat sesosok
bayangan dari balik dinding. Suamiku datang. Rupanya tadi malam ia tidur di
teras. Ia melihatku bersama anak-anakku. Mereka berhamburan menyambut ayahnya,
memeluk lututnya karena mereka belum cukup tinggi menggapai bahu ayahnya itu.
Ia membawakan makanan untuk mereka. Saat anak-anak sibuk dengan makanan itu, ia
menghampiriku. Aku mencoba untuk biasa dan kuajak ia melihat foto-foto lama
kami. Bernostalgia. Aku tertawa bersamanya. Mengingat yang telah lewat.
Sesekali ia memandangku lembut. Aku tahu ia sedang berfikir. Namun aku khawatir
ia sedang meyakinkan hatinya untuk benar-benar menceraikan aku dan mengatur
kata-kata agar aku dapat menerima keputusannya. Saat ia diam dan memandangku
dalam-dalam, kukatakan padanya bahwa aku merindukannya sejak tadi malam. Ia
tersenyum dan mengatakan bahwa ia pun merasakan hal yang sama. Hatiku lega.
Kututup album foto itu dan kukatakan padanya bahwa selain dari semua
kekuranganku tentu ada kelebihanku, selain dari semua yang tidak disukainya
tentu ada yang disukainya, selain dari semua ketidakcocokan kita tentu ada
bagian yang cocok. "Bila tidak, apa alasan Abang mau menikahi Dinda dulu?
Dan bagaimana mungkin kita
bisa bertahan selama ini?"
Ia mencium keningku.
Kurasakan air mata mengalir hangat di pipiku. Tapi bukan air mataku...
"Allah memang hanya
menciptakan Dinda buat Abang... Maafin Abang ya..."Kuusap air mata dari
pipinya dan ia membaringkan kepalanya di pangkuanku...
"Maafin Dinda juga
ya, Bang..."
Entah apa yang membuatnya
berubah pikiran. Aku tak ingin menanyakannya. Hanya dengan berada di sisiku
pagi itu, aku rasa aku tahu jawabannya...
Pernikahan itu bisa
berumur panjang bila ada usaha untuk memanjangkannya dan bisa berumur pendek
bila tidak ada yang mau berfikir panjang.
(Untuk pangeranku, aku
ingin beranjak tua bersamamu... atas izin Allah.)
Ya Allah berilah hamba
petunjuk untuk tetap di jalanMu, serta kemudahan untuk mendapat berkahmu...
Amin.
(Subhan ibn Abdullah –* Hasan Basri M)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar